Penulis: Ririn Rahmadani | Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki beragam tradisi adat dalam prosesi perkawinan. Salah satunya yang masih dikenal hingga saat ini yaitu Uang Japuik Ajo Pariaman yang mana tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Pariaman, Sumatera Barat, yang membedakannya dengan daerah lain. Tradisi ini cukup menarik perhatian dimana pihak perempuan sebagai pemberi sejumlah uang kepada keluarga calon mempelai laki-laki.
Uang japuik ajo merupakan pemberian dari keluarga calon perempuan kepada keluarga calon laki-laki dalam rangka penjemputan calon suami. Dalam adat Pariaman, tradisi ini sangat erat kaitannya dengan posisi laki-laki yang akan menjadi urang sumando, yaitu tamu terhormat yang masuk kedalam ke dalam lingkungan keluarga perempuan setelah menikah. Oleh karena itu, uang japuik ajo tidak dimaknai sebagai “membeli laki-laki”, melainkan sebagai bentuk sebuah penghormatan dan penghargaan terhadap peran sosial yang akan dijalani oleh calon suami.
Tradisi uang japuik ajo lahir dari sistem kekerabatan Minangkabau yang bersifat matrilineal, dimana sistem ini garis keturunan ditarik dari pihak ibu,
sementara perempuan memegang peran sentral sebagai penerus kaum dan pemilik rumah gadang. Ketika seorang laki-laki menikah, ia akan tinggal di lingkungan keluarga istrinya dan beradaptasi dengan adat serta aturan yang berlaku di sana. Pemberian uang japuik ajo menjadi simbol penerimaan laki-laki tersebut ke dalam keluarga perempuan.
Besaran uang japuik ajo Pariaman tidak bersifat baku. Nilainya ditentukan melalui musyawarah antara ninik mamak kedua belah pihak dengan mempertimbangkan latar belakang calon pengantin laki-laki, seperti pendidikan, pekerjaan, kedudukan sosial, serta kehormatan keluarganya.
Semakin tinggi status sosial calon suami, biasanya semakin besar pula uang japuik ajo yang diminta. Dalam konteks ini, uang japuik ajo juga berfungsi sebagai simbol prestise dan martabat keluarga perempuan di tengah masyarakat.
Dalam perkembangannya, tradisi uang japuik ajo tidak lepas dari dinamika sosial. Di satu sisi, tradisi ini dipandang sebagai warisan budaya yang memperkuat identitas masyarakat Pariaman. Namun di sisi lain, nilai uang japuik ajo yang tinggi kerap menjadi beban ekonomi bagi keluarga perempuan dan berpotensi menunda bahkan menghambat pernikahan.
Kondisi ini memunculkan berbagai penyesuaian dalam praktik adat.
Saat ini, banyak keluarga Pariaman yang menyepakati pelaksanaan uang japuik ajo secara fleksibel. Nominalnya dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga atau digantikan dengan bentuk simbolis, asalkan makna adat dan kesepakatan bersama tetap terjaga. Penyesuaian ini menunjukkan bahwa adat tidak bersifat kaku,
melainkan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Dari sudut pandang agama, uang japuik ajo dipahami sebagai adat pelengkap dalam perkawinan, bukan sebagai syarat sah pernikahan menurut Islam.
Masyarakat Pariaman tetap berpegang pada falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, yang menegaskan bahwa adat dan agama berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat.
Hingga saat ini, uang japuik ajo Pariaman tetap menjadi bagian penting dalam tradisi perkawinan adat. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan sistem sosial dan nilai budaya masyarakat Pariaman, tetapi juga menunjukkan kemampuan adat Minangkabau untuk bertahan dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan makna dan jati dirinya.












